Yang kita maksud dengan SDM (sumber daya manusia) selama ini  sesungguhnya adalah SDIM atau sumber daya industrial (pada) manusia.  Term SDM tidak lahir misalnya dari arena kebudayaan atau keberbudayaan,  di mana sumber daya primer yang dimaksudkan adalah potensi kepribadian  seseorang dalam kaitan-kaitan kebersamaan makhluk hidup: integritas dan  kasih sayang sosialnya, kesalehan hatinya, empati dan toleransinya  kepada orang lain, akhlak dan tasammuh-nya.
Istilah ‘sumber daya manusia’ lahir dari  wilayah dan keperluan industri. Industrialisasi, yang kemudian menjadi  ‘ideologi’ industrialisme, lahir dari suatu visi dan versi pandangan  yang dominan mengenai yang disebut perkembangan dan kemajuan hidup. Maka  tekanan makna sumber daya manusia adalah (software-nya) daya manajerial  dan profesionalisme, serta (hardware-nya) keterampilan kerja. Ditambah  faktor-faktor psikologis yang secara khusus diperlukan oleh mekanisme  industri: etos kerja, disiplin, semangat untuk maju, yang di sana sini  berbias dengan keserakahan. Konsep sumber daya manusia mengaksentuasikan  diri pada kesanggupan untuk produktif. Kejujuran diperlukan di sejumlah  sisi dengan kadar tertentu. Kebaikan hati sering bertolak belakang  dengan efisiensi. Kasih sayang kemanusiaan bisa menghalangi efektivitas.
Jika Anda rewel dengan membawa-bawa esensi paling dalam dari nilai  agama, yaitu zuhud (kesanggupan untuk mendayagunakan ‘materi’ sejauh dan  sebatas keperluan sejati manusia hidup), itu sungguh-sungguh akan  merepotkan organisasi dan manajemen tempat kerja Anda. Kalau salah  manajemen bisa-bisa menjegal arus heboh kita semua dalam membangun masa  depan perekonomian besar Asia Pasifik abad 21. Apalagi kalau konsep  zuhud disalah-terapkan menjadi budaya anti-materi.
Dengan demikian konsep sumber daya manusia yang sangat gegap gempita  kita sosialisasikan di pergantian abad ini, pada hakikatnya berbeda  prinsip dengan jargon lain yang kita sebut pembangunan manusia Indonesia  seutuhnya (MIS). Atau begini kita memahaminya: ‘sumber daya manusia’  benar-benar merupakan tema konkret, sebagaimana ekonomi dan industri,  bersama kekuasaan dan birokrasi, adalah benar-benar realitas – terhadap  mana makhluk yang berjudul manusia harus mengabdi.
Sementara ‘membangun manusia Indonesia seutuhnya’ bukan bahasa dari  realitas dan kemungkinan besar memang tidak diperlukan oleh realitas.  Justru yang sebenarnya sedang kita selenggarakan adalah metoda reduksi  atas keutuhan manusia. Untuk profesionalisasi, efektivisasi dan  efisiensi peradaban industri, manusia harus kita bawa ke ‘bengkel’, kita  optimalkan sejumlah potensinya dan kita mandulkan potensi-potensi yang  lain padanya.
‘Manusia Indonesia seutuhnya’ (MIS) adalah sebuah nyanyian. Sebuah  retorika. Suatu jenis entertainment untuk meninabobokan hati  kekanak-kanakan kita. Juga suatu kosmetika yang siapa pun tak akan  menagih substansi darinya. Oleh karena itu MIS tidak memerlukan  perangkat sejarah apa-apa. Tidak butuh departemen, lembaga, kurikulum  dan biaya.
Di alam teori SDM kita jumpai perbenturannya dengan MIS. Tapi dalam  realitas, kemungkinan benturan semacam itu diam-diam kita sepakati untuk  kita hindarkan bersama-sama. Kita dilahirkan oleh orangtua kita menjadi  warga suatu negeri, tidak terutama untuk menjadi orang saleh meskipun  profesinya ‘hanya’ satpam, tidak untuk menjadi orang baik hati meskipun  pekerjaannya ‘sekadar’ buruh tani, serta tidak untuk menjadi manusia  penuh kasih sayang yang menomorsatukan kebersamaan meskipun kedudukannya  ‘cuma’ tukang angkut barang di terminal.
Kita juga dididik dengan kurikulum-kurikulum resmi dan biaya besar  tidak terutama untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Boleh egois,  asal skilled. Boleh individualistis, asal produktif pada spesialisasi  tugasnya. Asal bisa mengerjakan soal ujian, lulus, meskipun bakat  malingnya besar. Etos kerja tinggi jangan dikontrol oleh  ketidak-rakusan. Tak perlu kita kembangkan perangkat ilmu dan moralitas  yang membedakan detail perbedaan antara semangat tinggi dengan  keserakahan, progresivitas dengan mendongkel mitra kerja,  profesionalisme dan animality, atau rasionalitas bisnis dengan ketegaan  hati.
Sebab kita disuruh lahir semata-mata to have. Atau lahir untuk to be,  sehingga have. Have apa? Barang-barang harian yang standarlah, syukur  yang melebihi semua tetangga, tetangga se-Indonesia. Maka be  close-close-lah to Pak Anu atau Oom Ini. Ikut sajalah apa maunya.  Mono-loyalitas? Ayo. Suruh pakai baju warna apa? Ayo saja. Kalau perlu  disuruh menggusur paksa atau kasih pelajaran kepada si mbalelo itu, I’m  ready. Kita butuh makan, Brur. Kalau Ente sih lahir cenger sudah dapat  warisan macam-macam. Jangan samakan. Yes you, me it is, sorrow! – Iya  kamu! Saya ini sengsara (bahasa Jawa = soro)!
Tentu Anda mafhum tema di belakang dialog itu adalah bahwa kalaupun  ‘reduksionisme’ atas manusia kita relakan, aktualisasi SDM tidak  lantas dengan sendirinya mulus dan beres. Kita masih punya ‘kekayaan’  sejarah lain yang bernama feodalisme, neo-ultra-feodalisme, nepotisme,  koneksisme -yang dari kandungannya lahir banyak kasus-kasus besar kolusi  dan korupsi.

 
 
 
 
 
 
 
 

0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !